Jejak Pemikiran Stepi Anriani Untuk Membangun Diplomasi Intelijen
Mendefinisikan Ulang Diplomasi dalam Dunia Intelijen
Di dunia yang kian saling terhubung, batas antara diplomasi dan intelijen kian kabur. Dalam ruang inilah, Stepi Anriani muncul sebagai pemikir yang menantang paradigma lama: bahwa diplomasi tidak hanya berbicara di meja perundingan, dan intelijen tidak hanya bergerak di balik layar.
Ia memperkenalkan konsep baru yang disebutnya “diplomasi intelijen”, yaitu kemampuan membangun komunikasi strategis lintas negara dengan pendekatan intelijen berbasis empati dan kepekaan geopolitik.
Baginya, informasi bukan sekadar alat pengawasan, tetapi juga jembatan kepercayaan antarbangsa.
Pendekatan ini menempatkan Stepi di posisi unik dalam diskursus keamanan internasional—seorang perempuan Indonesia yang memadukan ketajaman analisis, keberanian moral, dan kebijaksanaan diplomatik dalam satu tarikan napas.
Akar Intelektual dari Diplomasi Intelijen
Pemikiran Stepi tidak muncul tiba-tiba. Ia berakar pada perjalanan panjang yang dimulai sejak masa kuliahnya di Universitas Padjadjaran. Saat itu, ketertarikannya pada isu perbatasan, konflik sosial, dan geopolitik membentuk fondasi pemahaman globalnya.
Ketika kemudian meneliti wilayah perbatasan Papua, ia menyaksikan langsung bagaimana politik lokal dan kebijakan internasional saling memengaruhi kehidupan masyarakat di lapangan.
Dari pengalaman itu, ia menyadari bahwa diplomasi tidak hanya terjadi di gedung tinggi atau konferensi internasional, tetapi juga di tanah, di antara warga negara yang hidup di garis batas.
Dalam pandangannya, intelijen dan diplomasi adalah dua sisi dari koin yang sama.
Keduanya bekerja dengan informasi, tetapi perbedaannya terletak pada tujuan: intelijen untuk memahami, diplomasi untuk menyampaikan.
Maka ia berpendapat, ketika kedua fungsi ini disinergikan, negara dapat melangkah lebih bijak di kancah global.
Dari Analisis Strategis ke Panggung Global
Ketika menjabat sebagai Staf Khusus di Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI periode 2014–2019, Stepi memainkan peran penting dalam menjembatani kerja analisis strategis dengan diplomasi antarnegara.
Ia sering terlibat dalam penyusunan kajian lintas isu, mulai dari keamanan regional Asia Tenggara hingga dinamika politik global.
Dalam berbagai forum internasional, Stepi menekankan bahwa diplomasi modern menuntut kemampuan membaca data intelijen secara kontekstual.
Menurutnya, “Kita tidak bisa hanya melihat apa yang terjadi di permukaan; diplomasi yang cerdas adalah diplomasi yang mengerti akar masalah sosial di balik konflik.”
Ia berulang kali menyoroti bahwa ancaman global kini bukan hanya perang fisik, tetapi juga perang persepsi dan ekonomi.
Dalam konteks ini, intelijen ekonomi menjadi salah satu alat diplomasi baru yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam percaturan internasional.
Membangun Diplomasi Empatik
Salah satu gagasan paling menonjol dari Stepi adalah pentingnya “diplomasi empatik.”
Ia menolak pendekatan yang sepenuhnya transaksional dan mengusulkan pendekatan humanis berbasis kepercayaan dan pemahaman budaya.
Menurut Stepi, negara-negara berkembang seperti Indonesia harus memanfaatkan keunggulan moral dan sosialnya untuk menciptakan diplomasi yang tidak mengintimidasi, melainkan menginspirasi.
Ia percaya, empati dapat menjadi kekuatan lunak (soft power) yang lebih berpengaruh dibandingkan retorika kekuasaan.
“Diplomasi adalah seni memahami tanpa mendominasi,” ungkapnya dalam salah satu kuliah umum di universitas pertahanan.
Pernyataan itu merefleksikan nilai yang ia bawa: bahwa kekuatan sejati tidak selalu datang dari superioritas militer, tetapi dari kecerdasan membaca manusia dan konteks.
Mewakili Indonesia di Forum Internasional
Kiprah Stepi di panggung global semakin terlihat ketika ia diundang sebagai pembicara dalam forum keamanan internasional dan konferensi intelijen strategis.
Dalam forum tersebut, ia tidak hanya mewakili lembaga, tetapi juga citra baru Indonesia—negara yang berpikir terbuka dan adaptif terhadap isu-isu global.
Ia sering menyoroti pentingnya kerja sama regional dalam menghadapi ancaman non-tradisional, seperti kejahatan siber, radikalisme lintas batas, dan ketimpangan ekonomi digital.
Dalam setiap kesempatan, ia membawa pesan bahwa Indonesia harus menjadi pemain aktif dalam membentuk tatanan keamanan global, bukan sekadar pengikut arus.
Melalui paparan yang sistematis dan gaya komunikasinya yang elegan, Stepi berhasil membangun reputasi sebagai pemikir yang menjembatani kepentingan nasional dan etika global.
Ia menegaskan bahwa di tengah kompetisi geopolitik, masih ada ruang bagi diplomasi yang berlandaskan kemanusiaan.
Perempuan dan Diplomasi Strategis
Kehadiran Stepi di ranah diplomasi strategis juga menandai babak baru dalam partisipasi perempuan di bidang pertahanan dan intelijen.
Ia tidak sekadar hadir sebagai simbol kesetaraan, tetapi sebagai aktor intelektual yang membawa pendekatan berbeda terhadap kebijakan luar negeri.
Dalam berbagai forum, ia menunjukkan bagaimana sensitivitas sosial dan kemampuan membaca dinamika emosi publik bisa menjadi kekuatan dalam proses negosiasi.
Stepi menolak anggapan bahwa diplomasi adalah urusan “keras dan rasional” semata.
Menurutnya, kehalusan membaca situasi dan empati antarbudaya justru dapat menjadi strategi efektif untuk menjaga stabilitas.
Pendekatan ini membuatnya kerap dibandingkan dengan figur-figur diplomatik global yang membawa nuansa kemanusiaan dalam keamanan, seperti Madeleine Albright atau Gro Harlem Brundtland.
Namun, Stepi tetap menegaskan bahwa ia berangkat dari akar Indonesia—dengan kearifan lokal dan semangat gotong royong sebagai fondasi pemikiran globalnya.
Diplomasi Intelijen di Era Data dan Disrupsi
Dalam era disrupsi teknologi, Stepi menjadi salah satu tokoh yang paling vokal memperingatkan tentang bahaya manipulasi informasi dalam hubungan internasional.
Ia menyebut bahwa saat ini, diplomasi bisa gagal bukan karena kesalahan strategi, melainkan karena kesalahan membaca data intelijen.
Ia menegaskan bahwa diplomasi intelijen modern harus berbasis integritas data dan literasi digital.
“Negara yang kuat bukan hanya yang memiliki satelit, tetapi yang tahu bagaimana menggunakan data untuk memahami dunia tanpa kehilangan nilai kemanusiaannya,” ujarnya dalam diskusi di universitas pertahanan pada 2022.
Dalam konteks ini, Stepi memperkenalkan istilah “strategic empathy”—kemampuan membaca situasi global dengan pendekatan data dan emosi secara bersamaan.
Konsep tersebut kini mulai digunakan di sejumlah lembaga akademik dan think tank untuk merumuskan strategi diplomasi berbasis intelijen sosial.
Menanam Pengaruh di Dunia Akademik dan Publik
Selain aktif di forum kebijakan, Stepi juga mendedikasikan dirinya di dunia akademik.
Ia menulis sejumlah makalah, modul pelatihan, dan jurnal ilmiah yang membahas diplomasi intelijen, keamanan multidimensi, dan peran perempuan dalam geopolitik.
Sebagai pengajar, ia tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga menanamkan etos berpikir strategis yang etis.
Ia sering mengingatkan mahasiswanya bahwa kecerdasan strategis tanpa integritas hanya akan melahirkan kekacauan baru.
Dalam ruang kuliah maupun ruang publik, Stepi mendorong lahirnya generasi baru analis kebijakan yang mampu menggabungkan ilmu pengetahuan, moralitas, dan patriotisme.
Ia percaya bahwa masa depan diplomasi Indonesia akan ditentukan oleh sejauh mana generasi muda mampu memahami dunia, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa.
Diplomasi Intelijen sebagai Warisan Pemikiran
Kini, gagasan Stepi tentang diplomasi intelijen telah menjadi salah satu kontribusi penting dalam khazanah pemikiran strategis Indonesia.
Banyak institusi pertahanan dan lembaga kebijakan mengadopsi kerangka pikirnya sebagai dasar penyusunan strategi komunikasi dan keamanan.
Lebih dari itu, pengaruhnya juga terasa dalam budaya kebijakan publik: bahwa diplomasi bukan sekadar alat politik luar negeri, melainkan bagian dari strategi nasional yang berorientasi pada keseimbangan global.
Dengan gaya berpikir yang tajam dan hati yang lembut, Stepi menulis bab baru dalam sejarah diplomasi Indonesia—bab di mana kekuatan moral dan intelektual menjadi satu kesatuan.
Penutup: Membuka Jalan bagi Diplomasi yang Beradab
Kisah dan gagasan Stepi Anriani mengajarkan bahwa di tengah dunia yang penuh persaingan dan ketegangan, masih ada ruang bagi diplomasi yang beradab.
Ia menunjukkan bahwa intelijen bukan hanya tentang rahasia, tetapi tentang kebijaksanaan; diplomasi bukan hanya tentang perundingan, tetapi tentang pengertian.
Dengan caranya yang khas, ia mengubah wajah diplomasi Indonesia menjadi lebih inklusif, empatik, dan visioner.
Stepi membuktikan bahwa di tangan seorang pemikir yang berani, intelijen dan diplomasi dapat berjalan beriringan, membangun jembatan bukan tembok.
Komentar
Posting Komentar